Sebelumnya kita telah memberikan ulasan
tentang pemberontakan PKI Madiun 1948. Pemberontakan yang dilatarbelakangi oleh
kedatangannya Muso dari Moskow. Di mana Muso memiliki keinginan untuk mengubah
paham dari sosialis menjadi sosialis komunis.
Sampai akhirnya, tindakan Muso ini
berhasil dihentikan oleh TNI. Dengan cara Muso ditembak mati dalam suatu
operasi penumpasan. Penembakan tersebut terjadi pada tanggal 31 Oktober 1948.
Pembahasan yang selanjutnya ini akan
memberikan pemaparan tentang salah satu tokoh yang ikut tewas dalam peristiwa
PKI. Tokoh tersebut dinamakan dengan Abdul Haris Nasution. Atau yang dikenal
dengan A.H Nasution.
Seorang jenderal besar yang tidak
mungkin dilupakan oleh bangsa ini. A.H Nasution tetap mampu tampil tegar,
ketika kekuatan komunis merajalela di Indonesia. Meskipun demikian, pak Nas
(sapaan akrabnya) juga dapat menitikkan air mata, pada saat melepas jenazah
tujuh Pahlawan Revolusi pada awal bulan Oktober 1965.
Pak Nas merupakan tokoh penggagas
Dwifungsi ABRI. Konsep digagas oleh Pak Nas telah menyimpang ke arah yang
dekstruktif dan orde baru yang didirikan menafsirkan konsep tersebut dalam
peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif.
Keberadaan tentara bukan lagi menjadi
pembela untuk rakyat, melainkan bermain dalam lapangan politik. Pak Nas juga
dikenal sebagai peletak dasar dari perang gerilya. Gagasan tentang perang
gerilya tersebut dituangkan dalam buku Strategy
of Guerrilla Warfare.
A.H Nasution lahir pada tanggal 3 Desember
1918. Pak Nas lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pak Nas
merupakan anak petani dan sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang, sampai
akhirnya mulai bergelut di dunia militer.
Pak Nas ikut mendaftar sekolah perwira
cadangan bagi Pemuda Indonesia yang didirikan oleh Belanda pada tahun 1940. Kemudian,
pak Nas menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada tahun 1942, Pak Nas mengalami pertempuran
pertamanya pada saat melawan Jepang di Surabaya.
Setelah pasukannya bubar, Pak Nas
bersepeda ke Bandung dan bekerja sebagai pegawai pamong praja. Karena tidak
betah dengan pekerjaannya sebagai priyayi, pak Nas masuk militer lagi dan
menjadi wakil komandan Barisan Pelopor di Bandung tahun 1943.
Dampak dari kekalahan Jepang, Pak Nas
dan pemuda eks-Peta mendirikan badan Keamanan Rakyat. Pada bulan Maret 1946,
Pak Nas diangkat menjadi Panglima Divisi III/ Priagan. Pada bulan Mei 1946,
dilantik presiden Soekarno menjadi Panglima Divisi Siliwangi.
Pada bulan Februari 1948, Pak Nas
menjadi wakil Panglima Besar TNI. Namun, sebulan kemudian jabatan “wapangsar”
dihapus dan Pak Nas diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang
RI. Dipenghujung tahun 1949, pak Nas diangkat menjadi KSAD.
Metode perang gerilya Pak Nas terus
dikembangkan, setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa pada masa Revolusi
Kemerdekaan II, tahun 1948 sampai 1949. Pak Nas menyusun Perintah Siasat No.1
yang berisi tentang “juklak” persiapan perang gerilya.
Instruksi Pak Nas tersebut dikenal
dengan doktrin “pertahanan rakyat total”. Bahkan, doktrin tersebut sampai saat
ini masih dianut oleh militer Indonesia.
Pak Nas mampu mengambil jarak terhadap
kekuasaan. Meskipun, Pak Nas mengagumi Soekarno, namun Pak Nas tidak menyangkal
jika sering terlibat konflik. Namun, hubungan mereka menjadi membaik, ketika
Bung Karno memberikan jabatan yang sama pada Pak Nas pada tahun 1955.
Bahkan, KSAD menjadi co-formateur dalam
pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Pada tahun 1957, muncul
pemberontakan PRRI/ Permesta, Bung Karno menyatakan dalam keadaan perang.
Pak Nas ditunjuk sebagai penguasa Perang
Pusat dan pemberontakan dapat dihentikan dengan cepat. Namun, para anggota
parlemen terus memperdebatkan tentang UUD yang baru. Sampai akhirnya, pada
tahun 1959, perdebatan menjurus pada perpecahan.
Pak Nas mengajukan pada Bung Karno untuk
kembali pada UUD 1945. Sehingga akhirnya, muncul dekrit presiden pada tanggal 5
Juli 1959.
Sayangnya, sejak awal 1960 –an, hubungan
antara Bung Karno dan Pak Nas mulai renggang. Pak Nas tidak bisa menerima sikap
Bung Karno yang dekat dengan PKI. Pertentangan di antara keduanya menjadi
rivalitas terbukan pasca peristiwa G 30 S.
Pak Nas kemudian bekerjasama dengan Soeharto,
untuk menumpas habis PKI. Bung Karno yang tidak mau menyalahkan PKI,
menyebabkan dirinya terguling.
Pak Nas yang nyaris menjadi korban G 30
S, berhasil dapat lolos dalam kepungan, dengan kehilangan puterinya, bernama
Ade Irma Suryani.
Pak Nas merupakan sosok yang berani
menentang komunis. Bahkan, pada tahun 1948, pak Nas memimpin dalam menumpas
pemberontakan PKI di Madiun dan menghalangi manuver PKI.
Pak Nas sempat berperan dalam awal
pemerintahan Orde Baru. Pak Nas juga pernah didesak untuk menjadi presiden,
namun Pak Nas akhirnya hanya menjadi ketua MPRS. Lewat keputusan Pak Nas, pada
tahun 1968, Soeharto diangkat menjadi seorang presiden.
Sayangnya, hubungan baik antara Soeharto
dan Pak Nas tidak berlangsung lama. Ketika Soeharto berkuasa, pak Nas
disingkirkan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh keterlibatannya dalam Petisi 50.
Pada tahun 1972, pak Nas dipensiunkan
diri dari dinas militer. Dan semenjak saat itu, ia tersingkir dari panggung
politik.
Pak Nas dalam menghadapi masa tuanya,
terbelilit persoalan hidup, antara lain rumah yang kusam dan tidak pernah
direnovasi, secara misterius pasokan air bersih ke rumahnya terputus. Namun,
setelah dikucilkan selama 21 tahun, Soeharto mulai merangkul Pak Nas kembali.
Pada tanggal 5 Oktober 1997, Nasution
dianugerahi Jenderal Besar bintang lima. Kemudian, pada tanggal 6 September
2000, pukul 07.30 WIB, Abdul Haris Nasution tutup usia di RS Gatot Subroto.
sumber:
S, Aning F. 2007. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Yogyakarta: Narasi.