Dari Kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali I, Burhanuddin, Ali II hingga Djuanda
Masih ingat tentang sejarah Indonesia pasca kemerdekaan? Ya,
Indonesia pernah harus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya. Setelah
kemerdekaannya diakui pun, Indonesia pun masih harus mengalami masa -masa di
mana konstitusi negaranya diubah mengarah pada bentuk serikat, yakni Republik
Indonesia Serikat atau RIS.
Setelah sempat mengalami masa sebagai RIS, Indonesia pada
akhirnya kembali pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tangagl 17
Agustus 1950. Pemerintahan Indonesia setelah kembali menjadi NKRI setelah RIS
ini masih menggunakan Undang Undang Dasar Sementara atau yang dikenal dengan
sebutan UUDS 1950.
Sesuai dengan UUDS 1950, Indonesia berbentuk negara
parlementer dimana kepala pemerintahannya dipimpin oleh Perdana Menteri dan
kepala negaranya dipegang oleh presiden. Pemerintahan Indonesia pun selanjutnya
harus dijalankan oleh kabinet -kabinet atau parlemen dari partai terpilih.
Sistem multipartai yang berlaku di Indonesia kala itu
ternyata tidak cukup kokoh sehingga kabinet atau parlemen yang memimpin
Indonesia tidak kuat bertahan lama. Hasilnya, dari tahun 1950 hingga tahun
1959, Indonesia pun harus mengalami pergantian kabinet hingga tujuh kali.
Berikut ini adalah ketujuh kebinet pada masa demokrasi
liberal tersebut :
1. Kabinet
Natsir (6September 1950-21 Maret 1951)
2. Kabinet
Sukiman (27 April 1951-3 April 1952)
3. Kabinet
Wilopo (3 April 1952-2juni 1953)
4. Kabinet
Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955)
5. Kabinet
Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)
6. Kabinet
Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956-14 Maret 1957)
7. Kabinet
Juanda (9 April 1957-5 Juli 1959)
Agar lebih jelas, mari kita lihat bagaimana kondisi program
kerja dan penyebab jatuhnya masing -masing kabinet yang ada. Mulai dari kabinet
Natsir, hingga Kabinet Juanda.
1. KABINET NATSIR (6 SEPTEMBER 1950 sampai 21 MARET 1951)
Kabinet Natsir adalah kabinet pertama yang terpilih untuk menjalankan
pemerintahan pada masa demokrasi liberal. Kabinet Natsir berlangsung sejak 6
September 1950 hingga 21 Maret 1951.
Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh
Masyumi. Perdana menteri dari kabinet Natsir adalah Moh. Natsir. Kabinet Natsir
mendapat dukungan dari tokoh-tokoh terkenal yang memiliki keahlian dan reputasi
tinggi. Diantaranya terdapat Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Moh. Roem, Mr.
Asaat, Ir. Juanda, dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo.
1.1. Program Keja Kabinet Natsir
Selama masa kepemimpinan Natsir, terdapat Program Kerja yang
menjadi target untuk dicapat. Program Keja Kabinet Natsir ada lima poin utama.
Berikut adalah lima poin utama program kerja dari Kabinet Natsir :
1.
Menggiatkan usaha keamanan dan ketenteraman.
2.
Konsolidasi dan menyempurnakan pemerintahan.
3.
Menyempurnakan organisasi angkatan perang.
4.
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan.
5.
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
1.2. Penyebab Jatuhnya Kabinet Natsir
Pada masa Kabinet Natsir inilah dilangsungkan perundingan
antara Indonesia dan Belanda menyangkut masalah Irian Barat untuk pertama
kalinya. Sayangnya, perundingan yang berlangsung pada tanggal 4 Desember 1950ini
menemui jalan buntu.
Kondisi ini kemudian memunculkan mosi tidak percaya dari parlemen.
Parlemen terus memberikan tekanan pada kabinet ini. Tekanan datang semakin
besar ketika Hadikusumo (PNI) menyatakan mosi tidak percaya.
PNI melayangkan pencabutan PP No. 39/1950 tentang DPRS dan
DPRDS yang diterima oleh parlemen. Hal ini yang menjadi puncak jatuhnya Kabinet
Natsir pada tanggal 21 Maret 1951. Kemudian Natsir kemudian mengembalikan mandatnya
kepada Presiden Soekarno.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 hingga 3 April 1952)
Setelah kabinet Natsir jatuh, kemudian Presiden Soekarno menunjuk
dua orang formatur baru, yaitu Sidik Joyosukarto (PNI) dan DR. Sukiman
(Masyumi). Mereka ditugaskan untuk membentuk kabinet baru.
Dilakukankan proses perundingan hingga pada tanggal 26 April
1951 diumumkan tentang susunan kabinet baru di bawah pimpinan Sukiman
Wiryosanjoyo (Masyumi) dan Suwiryo (PNI). Kabinet Sukiman berlangsung dari
tanggal 27 April 1951 hingga 3 April 1952.
2.1. Program Kerja Kabinet Sukiman
Beberapa program kerja Kabinet Sukiman yakni :
1.
Menjalankan berbagai tindakan tegas sebagai
negara hukum demi menjamin keamanan dan ketenteraman sekaligus menyempurnakan
organisai alat -alat kekuasaan negara.
2.
Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran
nasional dalam jangka pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat
dan juga mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam pembangunan.
3.
Menyelesaikan persiapan pemilu untuk membentuk
Dewan Konstituante dan menyelenggarakan pemilu dalam waktu singkat dan
mempercepat terlaksananya otonomi daerah.
4.
Meyiapkan undang-undang (UU) pengakuan serikat
buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum, serta penyelesaian
pertikaian buruh.
5.
Menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
6.
Memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Republik
Indonesia secepatnya.
2.2 Jatuhnya Kabinet Sukiman
Seperti halnya kabinet Natsir, ternyata Kabinet Sukiman pun tidak
dapat bertahan lama. Masalah utama yang menjadi penyebab jatuhnya Kabinet
Sukiman adalah pertukaran nota yang terjadi antara Menteri Luar Negeri Ahmad
Subarjo dengan Duta Besar Amerika Merle Cochran.
Nota tersebut berisi tentang pemberian bantuan ekonomi dan
militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia yang didasarkan
pada Mutual Security Act (MSA) atau undang-undang kerja sama keamanan.
Namun, parlemen mengira bahwa kerja sama tersebut justru sangat
merugikan politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dianut Indonesia. Alhasil,
kabinet Sukiman dituduh telah memasukkan Indonesia ke dalam Blok Barat.
Karena hal inilah, kemudian DPR menggugat kebijakan Kabinet
Sukiman. Dengan terpaksa, Kabinet Sukiman mengembalikkan mandatnya kepada
presiden. Lalu, di tanggal 3 April 1952, Kabinet Sukiman Jatuh dan harus
digantikan dengan kabinet lain.
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 hingga 2 Juni 1953)
Kabinet Wilopo mulai menjalankan tugasnya untuk menggantikan
kabinet Sukiman terhitung sejak 3 April 1952. Kabinet Wilopo dipimpin oleh Mr.
Wilopo sebagai Perdana Menteri nya. Kabinet ini terdiri dari para pakar yang
ahli di bidangnya.
3.1. Program Kerja Kabinet Wilopo
Program kerja Kabinet Wilopo memiliki beberapa poin antara lain sebagai berikut.
1.
Mempersiapkan pemilihan umum.
2.
Berusaha mengembalikan Irian Barat ke dalam
wilayah Republik Indonesia.
3.
Menigkatkan keamanan dan kesejahteraan.
4.
Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran.
5.
Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif.
3.2. Penyebab Jatuhnya Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo juga harus menghadapi masalah sulit berupa gerakan
separatisme yang terjadi di sejumlah daerah. Selain itu, terjadi pula peristiwa
17 Oktober 1952 terkait gerakan sejumlah perwira Angkatan Darat yang menekan
Presiden Soekarno agar membubarkan parlemen.
Masalah tersebut ditambah dengan peristiwa Tanjung Morawa di
Sumatra Utara membuat kabinet Wilopo semakin gaduh. Peristiwa Tanjung Morawa terjadi
karena pemerintah sesuai dengan persetujuan KMB mengizinkan pengusaha asing
untuk kembali mengusahakan tanah-tanah perkebunan.
Hal ini sebetulnya adalah permasalahan yang muncul dari masa
Kabinet Sukiman. Pada masa tersebut, Mr. Iskaq Cokroadisuryo sebagai Menteri
Dalam Negeri menyetujui dikembalikan tanah Deli Planters Vereenging (DPV) yang
sudah bertahun-tahun ditinggalkan pemiliknya. \
Namun, selama ditinggalkan para pemiliknya, tanah tersebut
digarap oleh petani. Nah, proses penyerahan kembali tanah yang dilaksanakan pada
masa Kabinet Wilopo pun menjadi hal yang rumit.
Pada tanggal 16 Maret 1953, Polisi mengusir para penggarap
tanah yang tidak memiliki izin. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan lima orang
petani terbunuh. Peristiwa ini pun mendapatkan sorotan yang tajam dari pers
maupun dari parlemen.
Kemudian, Sidik Kertapati dari Serikat Tani Indonesia
(Sakti) mengajukan mosi tidak percaya terhadap Kabinet Wilopo. Akhirnya,
tanggal 2 Juni 1953 Wilopo harus mengembalikan mandat kepada presiden.
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 hingga 12 Agustus 1955)
Kabinet Ali Sastroamijoyo sempat memimpin pemerintahan masa
demokrasi liberal sebanyak dua kali. Karenanya, masa kepemipinannya yang sering
disebut sebagai kabinet Ali I dan kabinet Ali II untuk membedakan masa yang
satu dengan lainnya.
Untuk kabinet Ali Sastroamijoyo I, pertama kali dibentuk
pada tanggal 31 Juli 1953. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamijoyo dari PNI dengan wakilnya Wongsonegoro dari PIR (Partai Indonesia
Raya).
4.1. Program Kerja Kabinet Ali I
Kabinet Ali I mempunyai program kerja yang disebut sebagai
program empat pasal. Program kerja kabinet Ali I tersebut meliputi :
1. Program
dalam negeri, antara lain untuk meningkatkan keamanan dan kemakmuran, serta
upaya untuk segera diselenggarakan pemilihan umum.
2. Pembebasan
Irian Barat secepatnya.
3. Program
luar negeri, antara lain untuk pelaksanaan politik bebas aktif dan peninjauan
kembali ke persetujuan KMB.
4. Penyelesaian
pertikaian politik.
Prestasi yang paling menonjol dari kabinet Ali I adalah keberhasilannya
dalam menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung (KAA). KAA ini
dilangsungkan pada pada tanggal 18-24 April 1955.
4. 2. Jatuhnya Kabinet Ali I
Namun, kabinet Ali I akhirnya harus jatuh juga. Di tanggal
24 Juli 1955, Ali Sastroamijoyo meneyerahkan mandatnya kepada presiden.
Penyebab utama jatuhnya Kabinet Ali I adalah masalah TNI-AD yang merupakan kelanjutan
dari peristiwa 17 Oktober 1952.
Kala itu, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Bambang
Sugeng mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai
pengganti beliau, maka ditunjuklah menteri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang
Utoyo, Panglima Tentara dan Teritorium II/Sriwijaya.
Namun, pengangkatan pimpinan baru tersebut ditolak para
panglima Angkatan Darat. Proses pengangkatan tersebut dianggap tidak
menghiraukan norma-norma yang berlaku di dalam lingkungan TNI-AD.
Selain masalah TNI-AD tersebut, masalah yang ikut mendorong
jatuhnya Kabinet Ali I adalah keadaan ekonomi Indonesia yang semakin memburuk,
adanya korupsi, dan inflasi yang mengakibatkan kepercayaan rakyat semakin
merosot.
Masalah lain yang menyebabkan keretakan dalam Kabinet
Alisastroamijoyo I adalah tindakan NU yang memutuskan untuk menarik kembali
menteri-menterinya. Tindakan ini kemudian diikuti oleh partai-partai lainnya,
sehingga kabinet Ali I pun terpaksa harus mundur pada 12 Agustus 1955.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 hingga 3 Maret 1956)
Kabinet Burhanuddin Harahap mulai menjalankan tugasnya dalam
demokrasi liberal sejak tanggal 12 Agustus 1955. Pada waktu Kabinet Ali I hendak
menyerahkan mandatnya kepada presiden, Presiden Soekarno sedang menunaikan
ibadah haji ke tanah suci.
Karenanya, pada tanggal 29 Juli 1955, Wakil Presiden Moh.
Hatta mengumumkan tiga nama formatur yang bertugas untuk membentuk kabinet
baru. Tiga nama formatur tersebut adalah Sukiman (Masymu), Wilopo (PNI), dan
Asaat (nonpartai).
Kemudian, Ketiga tokoh tersebut pun sepakat untuk menunjuk
Moh. Hatta sebagai perdana menteri sekaligus menteri pertahanan. Akan tetapi,
hal ini tentu sulit dijalankan lantaran Moh. Hatta juga duduk sebagai wakil
presiden.
Ketiga formatur tersebut pun gagal membentuk susunan kabinet
baru. Moh. Hatta lalu mengambil sikap untuk menunjuk Mr. Burhanuddin Harahap
dari Partai Masyumi untuk membentuk kabinet. Akhirnya, pada tanggal 12 Agustus
terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap, dengan perdana menterinya Burhanuddin
Harahap dari Masyumi.
5.1. Program Kerja Kabinet Burhanuddin Harahap
Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap, meliputi beberapa
hal berikut :
1.
Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam
hal ini kepercayaan Angkatan Darat dan Masyumi.
2.
Melaksanakan pemilihan umum, desentralisasi,
memecahkan masalah inflasi, dan pemberantasan korupsi.
3.
Melaksanakan perjuangan mengembalikan Irian
Barat ke Republik Indonesia.
Prestasi yang terbilang menonjol dari kabinet Burhanudian
adalah penyelenggaraan pemilu untuk yang pertama di Indonesia. Pemilu pertama
di Indoensia berlangsung pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota
DPR, sedangkan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
konstituante.
Prestasi lain yaitu pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Berakhirnya
pemilihan umum juga berarti bahwa tugas Kabinet Burhanuddin telah selesai.
Jadi, kabinet Burhanuddin Harahap ini dianggap sebagai satu -satunya kabinet
yang dapat menyelesaikan tugas atau program kerjanya.
Berikutnya, perlu dibentuk kabinet baru yang bertanggung
jawab terhadap parlemen yang baru pula. Karena telah selesai masa tugasnya, pada
tanggal 3 Maret 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap mengembalikan mandatnya kepada
presiden. Kabinet Burhanuddin juga dianggap sebagai kabinet peralihan dari DPR
Sementara ke DPR hasil pemilihan umum.
6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 hingga 14 Maret 1957)
Kabinet Ali Sastroamijoyo kembali memegang pemerintahan
mulai tanggal 20 Maret 1956. Ali Sastroamijoyo menjabat sebagai perdanan
menteri setelah berkoalisi dengan PNI, Masyumi, dan NU. Kabinet ini pula yang
merupakan kabinet pertama setelah pemilihan umum tahun 1955.
6. 1. Program pokok Kabinet Ali Sastroamijoyo II
Program pokok Kabinet Ali Sastroamijoyo II meliputi :
1. Pembatalan
KMB.
2. Perjuangan
mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Reupblik Indonesia.
3. Pemulihan
keamanan dan ketertiban, pembangunan ekonomi, keuangan, industri, perhubunan,
pendidikan, serta pertanian.
4. Melaksanakan
keputusan Konferensi Asia Afrika.
6.2. Jatuhnya Kabinet Ali II
Jatuhnya Kabinet Ali II terjadi pada tanggal 14 Maret
1957. Ali Sastroamijoyo terpaksa harus
menyerahkan kembali mandatnya pada presiden karena dalam tubuh kabinet terjadi
perpecahan, yakni antara PNI dan Masyumi.
Masalahnya, Masyumi menginginkan agar Ali menyerahkan
mandatnya kepada presiden sesuai dengan tuntutan daerah. Sementara Ali
Sastroamijoyo sendiri berpendapat bahwa kabinet tidak wajib mengembalikan
mandatnya hanya karena tuntutan daerah.
Akhirnya, pada bulan Januari 1957, Masyumi menarik semua
menterinya dari kabinet. Hal ini pun membuat kedudukan Kaibnet Ali
Sastroamijoyo II menjadi sangat lemah dan akhirnya jatuh.
7. Kabinet Juanda (9 April 1957 hingga 5 Juli 1959)
Kabinet Juanda adalah kabinet terakhir yang ada pada masa
demokrasi liberal. Kabinet Juanda (atau Kabinet Djuanda) ini berlangsung mulai
9 April 1957. Perdana menteri dari kabinet ini adalah Ir. Djuanda. Ir Djuanda
memiliki tiga orang wakil, yaitu Mr. Hardi, Idham Chalid, dan dr. Leimena.
7.1. Program Kerja Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda menyusun program yang terdiri dari lima
pasal. Program kerja kabinet Djuanda ini disebut sebagai Pancakarya. Karena
program ini pula, Kabinet Djuanda juga disebut sebagai Kabinet Karya.
Program-program Kabinet Karya meliputi :
1.
Membentuk Dewan Nasional.
2.
Normalisasi keadaan Republik Indonesia.
3.
Melanjutkan pembatalan KMB.
4.
Memperjuangkan Irian Barat kembali ke Republik
Indonesia.
Dewan Nasional yang dibentuk di sini adalah badan baru yang
bertugas untuk menampung dan menyalurkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam
masyarakat. Dewan Nasional ini sebelumnya pernah diusulkan oleh Presiden
Soekarno pada saat mengutarakan konsepsi presiden sebagai langkah awal dari
terbentuknya demokrasi terpimpin.
7.2. Jatuhnya Kabinet Juanda
Kabinet Juanda juga tidak lepas dari terpaan masalah. Muncul
pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang membuat hubungan antara pusat dan
daerah menjadi terhambat. Untuk meredakan pergolakan-pergolakan tersebut, maka diselenggarakanlah
musyawarah nasional (munas) pada tanggal 14 September 1957.
Munas berlangsung di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan
Timur No. 56. Di dalam munas tersebut, dibahas beberpaa masalah meliputi :
1.
pembangunan nasional dan daerah,
2.
pembangunan angkatan perang,
3.
pembagian wilayah Republik Indonesia.
Karena pembahasannya belum selesai, Munas dilanjutkan
kembali dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November
1957. Namun, pada tanggal 30 November 1957, terjadi peristiwa percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno.
Percobaan pembunuhan ini terjadi di depan Perguruan Cikini sehingga
dikenal sebagai Peristiwa Cikini. Setelah Peristiwa Cikini tersebut, keadaan
negara semakin memburuk. Banyak daerah menentang kebijakan pemerintah pusat.
Akhirnya, pergolakan ini berkembang menjadi pemberontakan
PRRI/Permesta. Karena keadaan yang semakin kacau, akhirnya Presiden Soekarno
memutuskan untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dekret Presiden 5 Juli 1959 ini menandai berakhirnya Kabinet
Djuanda sekaligus berakhirnya pula masa demokrasi liberal yang menggunakan
sistem parlementer.