Perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan NKRI memang sungguh berat. Meski proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan, tapi tetap saja kerajaan Belanda ingin kembali menancapkan kekuasaan kolonialnya di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka dan Jepang kalah perang, maka pasukan sekutu sebagai pemenang perang pun datang ke Indonesia. Awalnya, Pasukan Sekutu yang bertugas di Indonesia adalah Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Tugas AFNEI di Indonesia adalah:
1. Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang,
2. Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu,
3. Melucuti orang-orang Jepang dan kemudian dipulangkan ke negaranya,
4. Menjaga keamanan dan ketertiban (law and order), dan
5. Menghimpun keterangan guna menyelidiki pihak-pihak yang dianggap sebagai penjahat perang.
1. Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang,
2. Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu,
3. Melucuti orang-orang Jepang dan kemudian dipulangkan ke negaranya,
4. Menjaga keamanan dan ketertiban (law and order), dan
5. Menghimpun keterangan guna menyelidiki pihak-pihak yang dianggap sebagai penjahat perang.
Awalnya, rakyat Indonesia menyambut kedatangan Sekutu dengan senang. Akan tetapi, ternyata sekutu ini datang diboncengi NICA. Karenanya, sikap rakyat Indonesia menjadi curiga dan bermusuhan.
Kedatangan NICA di Indonesia didorong oleh keinginan menegakkan kembali Hindia Belanda dan berkuasa lagi di Indonesia, yang tentu saja tidak diingini oleh bangsa Indonesia yang baru saja menyatakan kemerdekaannya.
NICA mengundang perlawanan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Bentuk-bentuk perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut, terdiri dari: Perjuangan fisik dalam bentuk perlawanan bersenjata dan perlawanan dalam bentuk diplomasi berupa perundingan-perundingan. Berikut akan dibahas bentuk perlawanan bersenjata dalam mempertahankan kemerdekaan.
1. Pertempuran Surabaya 10 November 1945
Surabaya disebut sebagai kota pahlawan karena sejarahnya sebagai ajang pertempuran paling hebat selama revolusi mempertahankan kemerdekaan. Karenanya, pantaslah Surabaya disebut sebagai lambang perlawanan nasional.
Peristiwa di Surabaya adalah rangkaian kejadian yang diawali sejak kedatangan pasukan Sekutu tanggal 25 Oktober 1945 yang dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby. pada 30 Oktober 1945, terjadi pertempuran hebat di Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah yang menewaskan Brigjen Mallaby.
Meninggalnya Brigjen Mallaby membuat Inggris memberi ultimatum yang isinya agar rakyat Surabaya menyerah kepada Sekutu. Rakyat Surabaya, yang diwakili Gubernur Suryo secara resmi menolak ultimatum Inggris.
Akibatnya, tanggal 10 November 1945 di pagi hari, pasukan Inggris mengerahkan pasukan infantri dengan senjata-senjata berat untuk menyerbu Surabaya dari darat, laut, maupun udara. Meski mendapat serangan hebat, tapi rakyat Surabaya tidak takut dengan gempuran Sekutu.
Bung Tomo memimpin rakyat dengan berpidato membangkitkan semangat lewat radio. Pertempuran Surabaya ini berlangsung selama tiga minggu dan membuat 6.000 rakyat Surabaya gugur. Pengaruh pertempuran Surabaya ini ternyata berdampak luas di kalangan internasional, bahkan masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB tanggal 7-13 Februari 1946.
Pertempuran Ambarawa terjadi mulai tanggal 20 November sampai tanggal 15 Desember 1945. Pertempuran yang terjadi antara pasukan TKR dan Pemuda Indonesia melawan pasukan Sekutu (Inggris) ini diawali dari insiden yang terjadi di Magelang pada tanggal 26 Oktober 1945.
Di Ambarawa pada 20 November 1945, pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu yang telah menguasai Ambarawa. Pertempuran Ambarawa mengakibatkan gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Resimen Banyumas.
Posisi Letkol Isdiman kemudian digantikan oleh Letkol Soedirman. Selama 4 hari 4 malam, Kota Ambarawa berhasil dikepung oleh pasukan RI. Karena posisi yang telah terjepit, maka pasukan Sekutu meninggalkan kota Ambarawa tanggal 15 Desember 1945 menuju Semarang. Keberhasilan TKR dalam mengusir Sekutu dari Ambarawa menjadi salah satu peristiwa penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI.
3. Pertempuran Medan Area 1 Desember 1945
Pada 9 Oktober 1945, tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Medan dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly. Awalnya, mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda).
Akan tetapi, sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Saat itu, seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dikenakan seorang pemuda Indonesia, yang tentu saja membuat para pemuda marah. Akibatnya, terjadi perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni oleh pasukan NICA.
Tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu kemudian memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan. Sejak saat itulah Medan Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik yang berada di kota Medan.
Hal ini jelas menimbulkan reaksi marah dari para pemuda dan TKR. Mereka pun memutuskan untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi, diadakan pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area untuk membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area.
4. Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api diawali dari datangnya Sekutu pada bulan Oktober 1945. Pada tanggal 21 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama yang isinya meminta untuk mengosongkan kota Bandung bagian Utara selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945 dari para pejuang.
Ultimatum tersebut tidak ditanggapi oleh para pejuang dan membuat 1946 Sekutu mengeluarkan ultimatum kembali tanggal 23 Maret dengan isi yang hampir sama.
Menghadapi ultimatum tersebut para pejuang kebingungan karena mendapat dua perintah yang berbeda. Sementara Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung, sedangkan markas TRI di Yogyakarta menginstruksikan agar Bandung tidak dikosongkan.
Akhirnya, para pejuang mematuhi perintah dari Jakarta dan meninggalkan Bandung pada tanggal 23-24 Maret 1946. Namun, sebelum mereka meninggalkan Bandung, mereka menyerang Sekutu dan membumihanguskan kota Bandung. Tujuannya agar Sekutu tidak dapat menduduki dan memanfaatkan sarana-sarana vital disana.
Karena peristiwa pembumihangusan kota Bandung inilah, peristiwa ini dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api. Sementara itu, para pejuang dan rakyat Bandung mengungsi ke luar kota.
Baca juga: Sejarah BPUPKI dan Pengertiannya
5. Puputan Margarana 20 November 1946
Perang Puputan Margarana di Bali diawali dari keinginan Belanda mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). Letkol I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen Nusa Tenggara, berusaha menggagalkan pembentukan NIT dengan mengadakan serangan ke tangsi NICA di Tabanan tanggal 18 Desember 1946. Konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai (yang dikenal dengan nama pasukan Ciung Wanara) ditempatkan di Desa Adeng Kecamatan Marga. Belanda menjadi gempar dan berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara. Pada tanggal 20 November 1946 dengan kekuatan besar Belanda melancarkan serangan dari udara terhadap kedudukan Ngurah Rai di desa Marga.
Dalam keadaan kritis, Letkol I Gusti Ngurah Rai mengeluarkan perintah “Puputan” yang berarti bertempur sampai habis-habisan (fight to the end). Letkol I Gusti Ngurah Rai gugur beserta seluruh anggota pasukan dalam pertempuran tersebut. Jenazahnya dimakamkan di desa Marga. Pertempuran tersebut terkenal dengan nama Puputan Margarana. Gugurnya Letkol I Gusti Ngurah Rai telah melicinkan jalan bagi usaha Belanda untuk membentuk Negara Indonesia Timur.
6. Serangan Umum 1 Maret 1949
Dalam agresi militer II, Belanda berhasil menangkap para pemimpin politik dan menduduki ibukota RI di Yogyakarta. Belanda ingin menunjukkan pada dunia bahwa pemerintahan RI telah dihancurkan dan TNI tidak lagi memiliki kekuatan.
Menghadapi tindakan Belanda tersebut, TNI kemudian menyusun kekuatan untuk melawan Belanda. Puncak serangan TNI ini adalah serangan umum terhadap kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949, yang dipimpin oleh Letkol Soeharto.
Sebelumnya, Letkol Soeharto mengadakan koordinasi terlebih dahulu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam serangan ini, TNI menggunakan sistem wehrkreise.
Untuk memudahkan penyerangan, dibentuklah beberapa sektor yaitu:
a. sektor Barat dipimpin oleh Mayor Ventje Sumual,
b. sektor Selatan dan Timur dipimpin oleh Mayor Sardjono, sektor Utara dipimpin oleh Mayor Kusno,
c. sektor Kota dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki.
Pada malam hari menjelang serangan umum, pasukan-pasukan telah merayap mendekati kota dan melakukan penyusupan-penyusupan. Kemudian, pagi hari tanggal 1 Maret 1949 sekitar pukul 06.00 WIB tepat sirene berbunyi, dan serangan dilancarkan dari segala penjuru kota.
Letkol Soeharto langsung memimpin penyerangan dari sektor Barat hingga ke batas Jalan Malioboro. Rakyat juga membantu memperlancar jalannya penyerangan dengan memberikan bantuan logistik.
Dalam waktu enam jam, kota Yogyakarta pun berhasil dikuasai TNI. Pada pukul 12.00 WIB tepat, pasukan TNI mengundurkan diri. Hal ini sesuai dengan rencana yang ditentukan sejak awal.
Baca juga: Pemilihan Umum 1955
Bersamaan dengan hal ini, bantuan Belanda tiba dengan kendaraan lapis baja serta pesawat terbang untuk melakukan serangan balasan. Meski demikian, serangan umum telah mencapai tujuannya. Berikut ini adalah tujuan Serangan Umum 1 Maret 1949.
a. tujuan ke dalam
1) Mendukung perjuangan yang dilakukan secara diplomasi.
2) Meninggikan moral rakyat dan TNI yang sedang bergerilya.
b. tujuan ke luar
1) Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan untuk mengadakan ofensif.
2) Mematahkan moral pasukan Belanda. Untuk mengenang para pejuang dan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 maka pemerintah Yogyakarta membangun “Monumen Yogya Kembali”.